08 April 2016

Serayu (Semarang Dirayu)

Part 1
"Udara pagi membelai mataku dengan lembut, mengantarkanku kembali ke rumah.
Mereka sudah duduk bersantai dan menyapaku hangat. Luka hati ini terobati seketika."
Aku adalah ketua tim dan bertanggung jawab atas terlaksananya ekspedisi ini. Di catatanku hampir semua tanggal sudah merah (riskan). sedangkan survei dan perizinan belum dilakukan. Senyum ceria sedikit demi sedikit mulai luntur dari wajah mereka. Semangatku pun berubah menjadi rasa bersalah, aku harus bisa membawa mereka semua, hanya itu mungkin yang terpikir. 

Belum sempat recovery, siang hari aku berangkat, aku abaikan presentasi ekspedisi kelompok lain. Dari Semarang kubawa semua surat yang bisa kubawa untuk perizinan kegiatan besok. Kali ini aku berangkat sendirian bermodalkan google maps. Awalnya perjalanan lancar, perlahan mata terasa berat padahal belumlah sampai 1 jam. Sampai akhirnya rantaiku lepas di belokan menurun pada saat kecepatan tinggi -waktu itu kupacu diatas kecepatan normal ngebutku-. Saat itu adrenalin meningkat, untung tidak jatuh atau ditabrak truk truk besar dibelakang.

Perjalanan kulanjutkan dengan sedikit mengurangi kecepatanku. Banyak jalan jalan asing disana. Setelah melewati Secang dan mulai memasuki Temanggung, terjadi kecelakaan. Aku tertabrak oleh motor, cukup kecang sampai kami terpental. Memang itu salahku yang masuk ke sisi kiri dengan mendadak. Kukeluarkan sebotol minuman dingin dari kantong untuk mencairkan suasana. Kuambil sebatang rokok miliknya setelah dipersilahkan dan kami bernegosiasi. Awalnya memang alot, dia tak mau kalah dan mau semuanya aku tanggung. Setelah bernegosiasi akhirnya kukeluarkan uang didompetku. Hanya ada 59 ribu pas. Kuserahkan 50 ribu dengan alibi itu uang terakhirku (didompet) dan masih untuk perjalanan pulang. Kami pun berdamai, walaupun aku masih sedikit shock setelah tabrakan tadi. 

Setelah bertanya pada orang tadi jalan ke Banjarnegara, kulanjutkan lagi perjalanan ini. Waktu sudah mendekati sekitar jam 4. Kupacu lagi motorku dengan keadaan yang semakin mengenaskan. Jalan mulai menanjak dan sepi, pertanda sudah mendekati lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. Pas ditanjakan tiba tiba motorku berhenti ditengah jalan. Ban belakang tidak mau berputar. Setelah menepi ternyata ban motorku terkunci rantai. Aku benar benar merasa hilang harapan waktu itu. Aku hanya duduk di rumput tepi jalan, memandangi langit, membayangkan keadaan mereka yang di Semarang, dan sambil menghisap beberapa batang rokok yang aku bawa di kantong. Cukup lama aku disana, menunggu bantuan juga tak mungkin. Uang tinggal 9 ribu. Jalan begitu sepi, mau naik ga bisa. Mau turun masih mikir lagi. Ku buka hpku, dan kukirim pesan singkat ke Mbak Dian. 
"Mbak, rantaiku lepas."
"Dimana?" setelah itu tidak aku balas.

Aku tak bisa diam terus disini sampai gelap. Kupaksakan untuk melepas rantai yang terjepit. Berat sekali. Akhirnya bisa, rantai aku taruh di jepitan dan aku turun kebawah berharap masih ada bengkel yang buka. Sebentar lagi gelap, dan aku juga belum sholat. Agak jauh dari sana aku menemui bengkel dan kuserahkan disana, hampir saja bengkel tersebut tutup. Langsung, begitu aku selesai menitipkan motor, aku langsung cari tempat sholat dan sholat ashar disana. Kerut diwajah dan beban dipundak serasa hilang seketika.

Selesai sholat, motorku sedah bisa jalan, satu lagi kendala. Aku tak ada uang. Entah itu kendala atau bukan, tapi aku merasa itu bukan hal besar yang mengganggu pikiranku.
"Pinten Pak?"
"9 ewu mawon, Mas."
"PAS!" teriakku dalam hati.
"Meniko Pak artone."

Okay sekarang aku tak ada uang sama sekali, lapar, bingung, dan bensin sudah menipis. Pulang pun juga pasti tak sampai.

No comments:

Post a Comment