01 November 2016

Sam Poo Kong

Klenteng ini merupakan ciri dari kota Semarang, yaitu kota dengan pluralisme. Sebuah peninggalan dari sekian banyak yang membentuk corak Tiong Hoa yang muncul disini. selain Sam Poo Kong sebenarnya masih ada yang lain, yaitu Pasar Semawis dan Kampung Cina. Yang paling jelas sebenarnya justru dari masyarakat dan budayanya yang masih hidup sampai sekarang ini.

Sam Poo Kong merupakan peninggalan dari kapal Laksamana Ceng Ho. Ya, Ceng Ho yang katanya menganut islam ini pernah singgah di Simongan. Dulu diperkirakan kapal yang luar biasa besar itu mendarat di Sam Poo Kong. Karena suatu hal seorang krunya terpaksa tinggal di Semarang dengan menyisakan sebuah bangunan besar yang sekarang bernama Sam Poo Kong.

Suasana Tiong Hoa sangat kental disini. Pengunjung akan dipersilahkan masuk ke halaman utama setelah membeli tiket seharga 5 ribu rupiah. Sedangkan area sembahyang perlu melewati loket khusus.

Satu dari sekian banyak patung di Klenteng Sam Poo Kong.
Pintu Timur Sam Poo Kong.
Bangunan ini mirip Joglo. Cuma beda arsitek nya aja.
Pengunjung Sam Poo Kong dari Jakarta.



30 October 2016

Sudah A.Md #2

28 Oktober 2016 adalah hari sumpah pemuda, berbarengan dengan janji wisudawan Universitas Diponegoro ke-144. Menjadi bagian dari 3600-an Mahasiswa UNDIP yang menamatkan studinya periode ini merupakan hal yang sangat membanggakan. Universitas ini menjadi kawah Candradimuka yang telah menempaku. Ketika pikiranku melayang kembali pada yang terjadi selama 3 tahun, sangat terasa betapa kerasnya kawah Candradimuka ini menempaku. Begitu banyak yang aku dapatkan disini, berbagai hal yang tidak dapat dibeli dengan uang tentunya. Meskipun begitu, tak banyak yang aku fahami, namun akan aku tanamkan dalam diri. Setelah ini bukan akhir dari perjalananku, karena hari depan jauh lebih terjal dari hari hariku disini. Life is a journey!

27 Oktober pagi, Mei Dina datang dari Jakarta. Perjalanan kereta yang cukup lama membuatnya butuh istirahat. Setelah aku ajak makan, aku antar ke kos Aenun. Selesai ku antar akhirnya bisa tidur setelah semalam begadang. Sorenya aku ajak sedikit melihat lihat Semarang sekaligus berbuka puasa. Pikiranku tertuju pada komplek bangunan peninggalan zaman Belanda, Kota Lama. Tidak banyak yang aku tawarkan, baru pertama juga aku kesini.

19 October 2016

Banjir Garut #1

Malam hari ketika tengah nikmatnya orang-orang terlelap, air sungai Cimanuk meluap. Sekitar pukul 11 malam kejadian itu terjadi. Beberapa hari belakangan memang hujan tak henti hentinya turun. Ketika malam itupun masih hujan lebat. Sungai Cimanuk yang berhulu di Gunung Papandayan ini melewati tengah kabupaten Garut hingga muaranya di Pantai Utara, Cirebon. Sebelum sampai Pantai Utara, Cimanuk terbendung oleh Waduk Jati Gede. Waduk yang baru dibuat dengan merelokasi penduduknya. Jam 5 pagi banjir baru mulai mereda, sebaliknya di Waduk Jati Gede, air masih masuk dengan derasnya hingga terlihat seperti pusaran air. 

Tiga hari setelah kejadian tersebut aku pergi kesana, malam itu gerimis kecil di Semarang. Dengan Bus Budiman arah Tasikmalaya seharga 120 ribu. Sampai disana, hampir semua berbahasa sunda lemas. Dengan bantuan seorang perantau yang dulu pernah kuliah di sebuah akademi maritim Semarang, akhirnya dapat sampai ke Terminal Garut dengan murah. Total perjalanan darat menghabiskan 11 jam dan ongkos 150 ribu rupiah. Posko pertama yang kusinggahi adalah Posko STTG Mussadadiyah. Posko milik lembaga Mussadadiyah ini ditenagai oleh Mapala-Mapala Bandung, Bogor, Jakarta dan sekitarnya, Mahasiswa STTG, serta relawan-relawan. Mapala STTG berperan banyak dalam berjalannya Posko ini. Bukan hanya posko ini yang berdiri di Garut. Posko Utama berada di KODIM, sedangkan Posko-posko lain tetap berdiri dengan berbagai latar belakang. Posko relawan Gabungan yang dimotori oleh WANADRI Bandung juga sempat aku singgahi, disana pula fokus tanggap bencana untuk MAPALA selain "assesment".

Sebagai relawan, sudah seharusnya membantu yang bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan. Hari pertama hanya bisa ikut membawa bantuan logistik berupa pakaian dan sembako. Walaupun seperti tak berguna, namun memang dibutuhkan. "Ini soal kemanusiaan. Urusan organisasi apapun itu kalau ada bencana harus dinomer dua-kan. Kecuali urusan kuliah, itu tetap utama." Kata Ua Yana. Malam harinya seperti biasa evaluasi dan briefing untuk hari berikutnya.

Pencarian hari ke-empat, atau pencarian hari-pertama ku difokuskan di Cimanuk jalur Jager-Leuwigoong dan Limbangan-Wado. Namun setelah briefing, tim dijadikan 1 tim besar dengan 4 perahu.

Berlanjut......

08 October 2016

Menjadi Indonesia

Perjalanan menuju Garut beberapa waktu lalu mempertemukanku dengan seorang laki-laki. Sebuah pertemuan yang pernah terjadi 6 tahun lalu, hanya saja waktu itu bukan denganku, melainkan dengan Mas Ponco. Sejak masuk Jawa Barat hampir setiap orang berbahasa Sunda, namun begitu pertama bertemu dengannya aku merasa kembali ke Jawa. Awalnya aku terkejut karena dia berasal dari Jakarta. Mukanya yang terlihat muda membuatku sekali lagi tidak percaya bahwa 6 tahun yang lalu dia pernah singgah di Semarang.
Berbincang dengannya membuat lidahku tak kaku lagi, karena bisa berbahasa Jawa dengan luwes. Tak hanya Jawa, orang kelahiran tanah Andalas itu pun bisa berbagai bahasa daerah. Begitu cintanya pada negeri kaya ini. Tak heran kalau dia tertarik dan bisa berbahasa daerah mulai dari Jawa, Sunda, dan Minang. Bahasa Inggris bukan bahasa negeri kaya ini. Secara terang-terangan dia juga menolak mempelajarinya. Dari sekolah dasar hingga tamat SMA pun, dia lebih suka bolos kelas dari pada ikut pelajaran Bahasa Inggris. Bukan suatu hal yang menarik jika itu hanya karena malas, namun ini berbeda dia istimewa. Sebuah bentuk cinta yang terlampiaskan melalui bahasa.
Semoga bisa bertemu dengannya lagi lain waktu.

04 October 2016

Engkau Tetap Jogjaku

Telah kujelajahi negeri ini
Andalas hingga Papua

Angkuhnya, damainya
Pengapnya, sejuknya
Kotornya, asrinya
Tandusnya, hijaunya
Engkau tetap Jogjaku

Tak hentinya kukagumi
Tanahnya, airnya
Gunungnya, sungainya
Langitnya, lautnya
Hewannya, pohonnya
Engkau tetap Jogjaku

Semakin jauh kupergi, semakin banyak kuresapi
Semakin sesak dada ini
Tak sanggup aku kembali ke Jogja
Jogjakartaku menangis
Tetapi dia tetap kuat, berusaha tegar dan selalu ada untuk
'mereka'

'Mereka'  ini harus sadar
Negeri kaya ini sudah lelah
Jogjakarta ini sudah lelah
Jangan kalian perkosa Jogjaku!

18 September 2016

Mengawal Bonus Demografi Melalui Kegiatan Non-Akademik



Pertumbuhan penduduk di negara Indonesia mulai menampakkan titik terang. Hal itu dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih dominan dari jumlah penduduk usia ketergantungan (<15 tahun dan >64 tahun). Peningkatan ini dinamakan bonus demografi. Menurut data “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” dari BAPPENAS, Indonesia mengalami bonus demografi periode tersebut. Penurunan beban rasio beban ketergantungan (Dependency Ration) menurunkan beban ekonomi bagi penduduk usia produktif (usia kerja) yang menanggung usia tidak produktif. Data tersebut memperhitungakn usia harapan hidup, vertilitas, dan lain-lain. Sebuah kesempatan baik yang harus dikawal bersama.



sumber : Data Proyeksi Penduduk Indoensia 2010- 2035 (Bappeda)
Kesempatan ini – kalau enggan dinamakan tantangan – tidak secara otomatis akan menguntungkan Indonesia. Karena dibutuhkan lapangan perkerjaan dan kualitas manusianya. Lapangan pekerjaan harus memenuhi laju pertumbuhan, bisa dari pemerintah, swasta, maupun asing. Sedangkan kualitas manusianya harus mengimbangi pertumbuhan tersebut, agar produk – produk Indonesia dapat bersaing untuk menungkatkan laju pertukaran rupiah. Seandainya berhasil, tidak menutup kemungkinan Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara maju di Asia.
Untuk mendapatkan keduanya, hal utama yang harus dipersiapkan secara matang adalah SDM (Sumber Daya Manusia). Salah satu kunci peningkatan kualitas SDM adalah pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal. Dalam pendidikan formal (sekolah) juga terbagi menjadi kegiatan akademis dan nonakademis. Dari berbagai sarana pendidikan tersebut saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. SDM yang berkualitas tidak cukup hanya dengan meningkatkan kemampuan akademis. Walaupun kemampuan tersebut dapat diukur dengan angka pasti, namun dalam dunia pekerjaan kemampuan akademis bukan menjadi faktor utama dalam kualitas SDM. Dibutuhkan kemampuan memimpin, berkomunikasi, kepribadian, dan sebagainya yang hanya bisa didapat dari kegiatan nonakademis pada sarana pendidikan formal.
Kegiatan nonakademis adalah segala sesuatu di luar hal-hal yang bersifat ilmiah dan tidak terpaku pada satu teori tertentu. Berbeda dengan kemampuan akademis,  kemampuan nonakademis seseorang sulit diukur secara pasti karena tidak ada salah dan benar didalamnya. Contoh kemampuan non akademis antara lain seni berkomunikasi, kemampuan berorganisasi, kepribadian, kemampuan kerjasama, kemandirian, dan kecakapan memimpin. Di dalam kegiatan nonakademis lebih berpengaruh terhadap karakter manusianya dibanding kegiatan akademis. Untuk itu kegiatan nonakademis secara tidak langsung merupakan pendidikan karakter bagi calon pemimpin negeri ini. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
Sayangnya, kegiatan nonakademis belum benar – benar matang. Hal tersebut disebabkan kegiatan nonakademis di negara ini belum menjadi perhatian ketimbang akademis. Orang tua, sekolah, universitas, pemerintah, dan masyarakat cenderung menilai kualitas seseorang berdasarkan prestasi – prestasi akademisnya. Hal itu berakibat keterbatasan ruang bagi seseorang untuk mengembangkan potensinya. Potensi yang penting dalam kualitas SDM untuk dapat bersaing dengan negara maju. Dalam kondisi sekarang ini perlu ditanamkan bahwa setiap individu itu unik (Everybody is unique). Memahami potensi dan mengembangkannya sebagai senjatanya untuk masa depan negeri kaya ini. Negeri ini butuh orang yang mau bekerja, bukan sekedar pintar. Seperti selogan 71 tahun kemerdekaan Indonesia “Kerja Nyata!”.
Ketika kita mendengar berita “Empat Mahasiswa Indonesia Cuti Satu Semester untuk Dapat Menggapai Puncak Tertinggi Benua Amerika.” Hal pertama yang orang awam soroti pasti kata “cuti satu semester” baru setelah itu “menggapai puncak tertinggi Amerika”. Secara tidak sadar otak kita telah terprogram untuk lulus kuliah tepat waktu dengan indeks prestasi kumulatif diatas 3,50. Sedangkan kita seakan tidak mau tau bagiamana proses yang telah dilalui oleh mahasiswa tersebut untuk dapat mencapai puncak tertinggi Benua Amerika tersebut. Kalau kita mau sedikit saja memperhatikan, disana terdapat pembelajaran – pembelajar berharga yang akan sangat berguna bagi kualitas SDM. Hal tersebut mulai dari perencanaan, operasional, kepemimpinan, komunikasi, dana usaha, kemandirian, ketekunan, kedisiplinan, dan lain sebagainya. Secara kualitas dalam pekerjaan, bisa jadi mahasiswa yang cuti tersebut lebih cepat berdaptasi dan berprestasi daripada mereka yang tidak menjalani proses tersebut.
Hal yang sering terjadi adalah keterbatasan ruang. Keterbatasan dari dukungan, kebijakan guru/dosen, orang tua, teman, dan lainnya. Padahal masa muda adalah masa yang tidak bisa diulangi lagi. Mengekang kegiatan nonakademis seperti contoh diatas bisa jadi dampak besarnya adalah kegagalan Indonesia dalam masa bonus demografi. Karena kurangnya daya saing SDM negeri ini. Pemuda Indonesia sekarang ini adalah prospek terbesar untuk memimpin bonus demografi hingga 2035. Kalau dihitung secara kasar, mereka yang sekarang rata-rata mahasiswa akan berusia 40 tahun pada tahun tersebut. Usia itu adalah usia produktif dalam bekerja. Sehingga perlunya bekal yang harus disiapkan mulai dari sekarang.
Sebagai warga negara Indonesia, kita wajib mendukung dan mengawal bonus demografi ini menurut kemampuan, peran, dan kapasitas masing – masing. Ukuran pasti dari kemampuan akademis mulai sekarang bukan patokan utama. Memaksa pemuda Indonesia untuk meraih ukuran tersebut (akademis) sama saja memojokkan mereka untuk tidak mengembangkan potensi mereka. Sedangkan mereka adalah calon pemimpin dan tulang punggung negara ini pada masa nanti.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu menerpakan sistem pendidikan yang seimbang. Kalau perlu dicondongkan ke nonakademis. Hal ini untuk melebur mainset kita tentang tidak pentingnya hal tersebut (kegiatan nonakademis). Pemerintah juga tidak bisa sendirian. Perlu campur tangan dosen/guru dalam mengawalnya. Dosen/guru adalah orang yang secara langsung mendidik mereka dalam lembaga pendidikan formal ini. Dukungan orang tua juga tidak kalah penting. Ego orang tua yang ingin melihat nilai anaknya dengan prestasi selalu baik adalah suatu ketidakadilan. Orang tua sebagai lembaga pendidikan pertama dan paling dekat seharusnya lebih mengenal potensi dan minat mereka. Dengan begitu anak akan berkembang dan berkualitas sesuai dengan karakternya.
Semua dukungan tersebut akan percuma bila manusia yang dididik tidak dapat menyeimbangkan kebutuhan kegiatan akademis dan nonakademis. Kegiatan nonakademis bukanlah pelarian dari kegaitan akademis, melainkan kebutuhan yang saling beriringan dan memiliki prioritas masing – masing berdasarkan posisi yang diemban. Seorang atlit sepakbola akan memiliki waktu tersendiri untuk berlatih dan sebaliknya. Begitu juga dengan kegiatan nonakademis lain. Agar setiap kegiatan akademis maupun nonakademis tidak sia sia, perlu ditanamkan totalitas. Dengan totalitas, kita bisa belajar lebih mendalam dan paham dari setiap esensi kegiatan yang dilakukan.
Bekti Nugraha.

Bappenas.go.id 
 

15 September 2016

Kecemplung di Proses Wapeala #3 (Rock Climbing)


“Semakin sering kita membentur tebing, semakin tebing membentuk karakter kita.” - Mas Coro

Nampaknya proses kali ini akan lama, karena melewati ujian akhir semester (UAS) semester satu. Begitu jadwal kegiatan aku buka, memang benar, semakin banyak kesempatan untuk berlatih. Mengingat proses sebelumnya aku sangat kewalahan, maka aku harus memaksimalkan kesempatan latihan sebaik mungkin. Walaupun masih ujian kusempatkan untuk olahraga, materi, dan simulasi. Aku juga membeli sebuah bola tenis untuk latihan cengkeraman. Sebisa mungkin aku ikuti setiap prosesnya. Walaupun kadang tak ada teman dekat yang menyertai. Awalnya begitu berat. Mulai dari kelenturan sampai menempel di papan. Simulasi pertama masih belum berhasil, baru sampai titik pemasangan pengaman (hanger) ke-empat. 

Memang benar, persiapan berpengaruh banyak. Terbukti ketika mempraktekkannya di tebing sesungguhnya. Aku dapat melewati jalur pemanjatan (Sport dan Artificial) serta naik dan turun dengan satu tali (prusikking dan rappling). Hampir semua materi aku bisa melakukannya -walaupun masih banyak kesulitan dan kewalahan. 

Begitulah proses. Keberhasilan itu dimulai dari pertama kita merencanakan. Ada yang bilang pemenang itu menang sebelum bertarung, dan pecundang adalah berusaha menang ketika bertarung. Tidak menang, tidak juga hebat. Tapi aku telah mengalahkan batasan kemampuanku sendiri, dan itu tidak didapat dengan seketika.

13 September 2016

Mimpi Kecil dari Manut (3)

Manusia belum menjadi manusia ketika melupakan manusia yang lain. Seperti buku "Swordless Samurai", keinginan sewaktu SMA, sedikit bahasan seni, dan sedikit perbincangan tentang perempuan. Keluarlah sebuah gagasan lama. Taukah tentang disabilitas? Membuat sebuah sanggar seni untuk anak berkebutuhan khusus. Baru-baru ini aku berpikir lebih jauh, bagaimana kalau universitas. Universitas untuk para disabilitas. Universitas? Bagaimana bisa?

Kambas lalu bercerita seorang temannya yang notabene tidak pandai di kuliah, tetapi sudah ditawari jadi supervisi sebuah perusahaan yang tidak kecil. Muncul dari kepedulian sosialnya bersama teman-teman SMA nya, teman Kambas mendirikan sebuah komunitas peduli disabilitas, YHA. Membuka mataku, ternyata siapapun bisa. Aku yang dulu berpikir 'uang' sebagai syarat nomor 1, sekarang aku mulai mengerti. Ternyata mimpi harus dimulai, bukan ditunggu. "Kayalah untuk bisa membantu orang lain" kata Kambas. Tapi itu hanya syarat nomor sekian. 

Sebuah Universitas. Tak banyak orang bisa merasakan pendidikan tinggi. Pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Every body is unique. Kesempatan bagi kita terbuka lebar, tetapi tidak bagi mereka. Mimpi ini harus dimulai, Mimpi Kecil dari Manut!

Selesai
Mimpi Kecil dari Manut (1)
Mimpi Kecil dari Manut (2)