Pertumbuhan
penduduk di negara Indonesia mulai menampakkan titik terang. Hal itu dapat
dilihat dari jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih
dominan dari jumlah penduduk usia ketergantungan (<15 tahun dan >64
tahun). Peningkatan ini dinamakan bonus demografi. Menurut data “Proyeksi
Penduduk Indonesia 2010-2035” dari BAPPENAS, Indonesia mengalami bonus
demografi periode tersebut. Penurunan beban rasio beban ketergantungan (Dependency Ration) menurunkan beban
ekonomi bagi penduduk usia produktif (usia kerja) yang menanggung usia tidak
produktif. Data tersebut memperhitungakn usia harapan hidup, vertilitas, dan
lain-lain. Sebuah kesempatan baik yang harus dikawal bersama.
|
sumber : Data Proyeksi Penduduk Indoensia 2010- 2035 (Bappeda) |
Kesempatan ini
– kalau enggan dinamakan tantangan – tidak secara otomatis akan menguntungkan
Indonesia. Karena dibutuhkan lapangan perkerjaan dan kualitas manusianya. Lapangan
pekerjaan harus memenuhi laju pertumbuhan, bisa dari pemerintah, swasta, maupun
asing. Sedangkan kualitas manusianya harus mengimbangi pertumbuhan tersebut,
agar produk – produk Indonesia dapat bersaing untuk menungkatkan laju
pertukaran rupiah. Seandainya berhasil, tidak menutup kemungkinan Indonesia
bisa bersaing dengan negara-negara maju di Asia.
Untuk mendapatkan
keduanya, hal utama yang harus dipersiapkan secara matang adalah SDM (Sumber
Daya Manusia). Salah satu kunci peningkatan kualitas SDM adalah pendidikan,
baik pendidikan formal maupun nonformal. Dalam pendidikan formal (sekolah) juga
terbagi menjadi kegiatan akademis dan nonakademis. Dari berbagai sarana
pendidikan tersebut saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. SDM yang
berkualitas tidak cukup hanya dengan meningkatkan kemampuan akademis. Walaupun
kemampuan tersebut dapat diukur dengan angka pasti, namun dalam dunia pekerjaan
kemampuan akademis bukan menjadi faktor utama dalam kualitas SDM. Dibutuhkan
kemampuan memimpin, berkomunikasi, kepribadian, dan sebagainya yang hanya bisa
didapat dari kegiatan nonakademis pada sarana pendidikan formal.
Kegiatan nonakademis
adalah segala sesuatu di luar hal-hal yang bersifat ilmiah dan tidak terpaku pada
satu teori tertentu. Berbeda dengan kemampuan akademis, kemampuan nonakademis seseorang sulit diukur
secara pasti karena tidak ada salah dan benar didalamnya. Contoh kemampuan non
akademis antara lain seni berkomunikasi,
kemampuan berorganisasi, kepribadian, kemampuan kerjasama, kemandirian, dan
kecakapan memimpin. Di dalam kegiatan nonakademis lebih berpengaruh terhadap
karakter manusianya dibanding kegiatan akademis. Untuk itu kegiatan nonakademis
secara tidak langsung merupakan pendidikan karakter bagi calon pemimpin negeri
ini. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha
yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
Sayangnya,
kegiatan nonakademis belum benar – benar matang. Hal tersebut disebabkan
kegiatan nonakademis di negara ini belum menjadi perhatian ketimbang akademis.
Orang tua, sekolah, universitas, pemerintah, dan masyarakat cenderung menilai
kualitas seseorang berdasarkan prestasi – prestasi akademisnya. Hal itu
berakibat keterbatasan ruang bagi seseorang untuk mengembangkan potensinya.
Potensi yang penting dalam kualitas SDM untuk dapat bersaing dengan negara maju.
Dalam kondisi sekarang ini perlu ditanamkan bahwa setiap individu itu unik (Everybody is unique). Memahami potensi
dan mengembangkannya sebagai senjatanya untuk masa depan negeri kaya ini.
Negeri ini butuh orang yang mau bekerja, bukan sekedar pintar. Seperti selogan
71 tahun kemerdekaan Indonesia “Kerja Nyata!”.
Ketika kita mendengar
berita “Empat Mahasiswa Indonesia Cuti Satu Semester untuk Dapat Menggapai
Puncak Tertinggi Benua Amerika.” Hal pertama yang orang awam soroti pasti kata “cuti
satu semester” baru setelah itu “menggapai puncak tertinggi Amerika”. Secara
tidak sadar otak kita telah terprogram untuk lulus kuliah tepat waktu dengan
indeks prestasi kumulatif diatas 3,50. Sedangkan kita seakan tidak mau tau
bagiamana proses yang telah dilalui oleh mahasiswa tersebut untuk dapat
mencapai puncak tertinggi Benua Amerika tersebut. Kalau kita mau sedikit saja
memperhatikan, disana terdapat pembelajaran – pembelajar berharga yang akan
sangat berguna bagi kualitas SDM. Hal tersebut mulai dari perencanaan,
operasional, kepemimpinan, komunikasi, dana usaha, kemandirian, ketekunan,
kedisiplinan, dan lain sebagainya. Secara kualitas dalam pekerjaan, bisa jadi
mahasiswa yang cuti tersebut lebih cepat berdaptasi dan berprestasi daripada mereka
yang tidak menjalani proses tersebut.
Hal yang
sering terjadi adalah keterbatasan ruang. Keterbatasan dari dukungan, kebijakan
guru/dosen, orang tua, teman, dan lainnya. Padahal masa muda adalah masa yang
tidak bisa diulangi lagi. Mengekang kegiatan nonakademis seperti contoh diatas
bisa jadi dampak besarnya adalah kegagalan Indonesia dalam masa bonus
demografi. Karena kurangnya daya saing SDM negeri ini. Pemuda Indonesia
sekarang ini adalah prospek terbesar untuk memimpin bonus demografi hingga 2035.
Kalau dihitung secara kasar, mereka yang sekarang rata-rata mahasiswa akan
berusia 40 tahun pada tahun tersebut. Usia itu adalah usia produktif dalam bekerja.
Sehingga perlunya bekal yang harus disiapkan mulai dari sekarang.
Sebagai warga
negara Indonesia, kita wajib mendukung dan mengawal bonus demografi ini menurut
kemampuan, peran, dan kapasitas masing – masing. Ukuran pasti dari kemampuan akademis
mulai sekarang bukan patokan utama. Memaksa pemuda Indonesia untuk meraih ukuran
tersebut (akademis) sama saja memojokkan mereka untuk tidak mengembangkan
potensi mereka. Sedangkan mereka adalah calon pemimpin dan tulang punggung
negara ini pada masa nanti.
Oleh karena
itu, Pemerintah Indonesia perlu menerpakan sistem pendidikan yang seimbang.
Kalau perlu dicondongkan ke nonakademis. Hal ini untuk melebur mainset kita tentang tidak pentingnya
hal tersebut (kegiatan nonakademis). Pemerintah juga tidak bisa sendirian.
Perlu campur tangan dosen/guru dalam mengawalnya. Dosen/guru adalah orang yang
secara langsung mendidik mereka dalam lembaga pendidikan formal ini. Dukungan
orang tua juga tidak kalah penting. Ego orang tua yang ingin melihat nilai
anaknya dengan prestasi selalu baik adalah suatu ketidakadilan. Orang tua sebagai
lembaga pendidikan pertama dan paling dekat seharusnya lebih mengenal potensi
dan minat mereka. Dengan begitu anak akan berkembang dan berkualitas sesuai
dengan karakternya.
Semua dukungan
tersebut akan percuma bila manusia yang dididik tidak dapat menyeimbangkan
kebutuhan kegiatan akademis dan nonakademis. Kegiatan nonakademis bukanlah
pelarian dari kegaitan akademis, melainkan kebutuhan yang saling beriringan dan
memiliki prioritas masing – masing berdasarkan posisi yang diemban. Seorang
atlit sepakbola akan memiliki waktu tersendiri untuk berlatih dan sebaliknya.
Begitu juga dengan kegiatan nonakademis lain. Agar setiap kegiatan akademis
maupun nonakademis tidak sia sia, perlu ditanamkan totalitas. Dengan totalitas,
kita bisa belajar lebih mendalam dan paham dari setiap esensi kegiatan yang dilakukan.
Bekti Nugraha.
Bappenas.go.id