11 February 2017

Berkeliling Banda Aceh #1

Hari ini hari ke-4 aku berada di Banda Aceh. Hari pertama baru bisa berkeliling sekitar penginapan, cukuplah untuk sekedar mengisi perut. Baru hari ini ada libur. Tak pikir lama, kumanfaatkan baik baik waktu libur ini. Seperti niat awalku, tujuan pertama dan utama adalah Masjid Raya Baiturrahman. Sekalian numpang mandi, hahaha. Ceritanya sudah semalaman air kos habis karena pipa utama PDAM pecah karena pembangunan Fly over di Simpanng Surabaya. Sekitar 30 menit saja dari kos dengan berjalan kaki. Memang benar kata orang, masjid ini begitu indah. Marmer hitam dikubahnya memberikan suasana tenang ditambah warna putih disetiap sudut masjid yang begitu bersih. Masjid ini sedang direnovasi besar besaran. Mungkin 3-4 bulan lagi rampung, sudah terbayang betapa indahnya nanti ketika selesai renovasi. Satu hal lagi yang membuatku takjub, hampir disemua toilet umum menggunakan sistem bayar se-ikhlasnya.
Jam 9 serasa jam 8 di Jawa.

Ada air mengalir untuk cuci kaki. Kagumnya airnya mengalir terus.

Ada payung raksasa kayak di Mekkah. Sedang proses ranovasi.

Niatnya mau cari Mie Ayam yang ditunjukkan g**gle maps karena masih beradaptasi dengan kuliner disini, eh malah nemu bangunan kosong. Ujungnya mlipir ke warung makan tepi jalan. Hampir semua kuliner disini terasa unik dilidah, enak sih… Belum terbiasa saja. 
Sudah sampai Masjid Baiturrahman kalau tidak ke Museum Tsunami Aceh terasa eman-eman (cari di g**gle kalau ga tau). 700 meter saja dari Masjid. Museum ini berseberangan dengan Perguruan Katholik TK SD SMP SMA, uniknya siswi disana menggunakan rok panjang, berbeda dengan di Jawa. Oiya, di Aceh memang harus menggunakan celana panjang atau rok bagi siapapun. Apalagi wanita, memakai jilbab jangan lupa. Khusus di Masjid Baiturrahman, wanita diharuskan menggunakan Rok. Kalau tidak, siap siap ditegur Satpam disana. Oke, kembali ke Museum Tsunami. Masuk Gratisss, hanya di Aceh yang seperti ini. Masuk ke pintu pertama kita disuguhi lorong basah dengan suara gemuruh dan samar-samar lafal “Laa illa ha ilallah...”. Terasa sekali betapa ngerinya tragedi 26/12/04 lalu. Setelah disuguhi foto-foto, masuk ke Sumut Doa. Tempat nama-nama korban Tsunami Aceh ditempel (bagi yang tercatat). Diujung atas yang tingginya 20 meter (perkiraan) tersebut tertulis Asma Allah. Sebelum naik, kami disuguhi bendera bendera negara-negara yang ikut membantu dalam bencana, tertulis juga kata ‘damai’ dalam berbagai bahasa. Naik kelantai berikutnya kami masuk ke ruang Audio Visual berdurasi sekitar 15 menit, disanalah aku baru menyadari betapa dahsyatnya cobaan bagi warga Aceh. Rasa kehilangan tersebut merasuk dalam sanubariku, halah. Tapi memang aku akui mataku berkaca-kaca. Selanjutnya adalah ruang ruang yang menggambarkan bencana ini. Kesanku setelah dari mueseum adalah, betapa kecilnya kita dihadapan-Nya.
Megah dan besar dengan, senang melihat bangunan bangunan unik seperti ini.

Gratisss. Enaknya jalan jalan di Aceh ya seperti ini

Tempat mengenang para korban bencana Tsunami.

Ujung Sumur Doa

Bukti hidupnya kemanusiaan di dunia.

Tak lengkap ke Museum tapi tak singgah di Tugu Tsunami, 400 meter dari Museum. Terletak di semacam alun-alun hijau yang indah. Disampingnya ada Monumen Pesawat RI. Di alun-alun tersebut terdapat monumen setinggi 1 meter berjumlah sangat banyak, menunjukkan bahwa negara-negara tersebut ikut membantu warga Indonesia khususnya Aceh dalam bencana dahsyat tersebut. Disetiap monumen tertuliskan ‘Terima kasih dan damai’. Tersentak pikiran ini, Aceh adalah bukti nyata kepedulian kemanusiaan masih ada dan akan terus ada.
Monumen Pesawat RI.

Tugu Tsunami, sebelahnya pesawat diatas.

Yah, tanggung sudah sampai disini, lanjutlah ke PLTD Apung. Sebuah Kapal pembangkit listrik yang terseret gelombang hingga 5 Km dari posisi awalnya. Sebelum itu istirahat sholat sek. Disini Dhuhur jam 1 kurang 10 menit, beda sekali dengan Jawa. Aneh rasanya ketika Subuh jam 6 kurang dan Magrib jam 7 kurang. Begitulah kebesaran-Nya. Oke lanjut, jam setengah 1 sudah sampai. Dari Tugu Tsunami total butuh waktu 15 menit jalan kaki. Tapi harus sabar, PLTD Apung ini baru buka jam 2, karena petugasnya juga harus Ishoma. PLTD ini telah menyelmatkan banyak jiwa dari gelombang Tsunami, banyak orang berlindung diatasnya ketika itu. Dari luar, penataanya sangat baik dan rapi. Ada jalur pengamatan serta menara pandang yang melingkari Kapan. Ada juga tarian air mancur yang indah. Dilengkapi teropong binocular di atasnya berjumlah 4 buah. Istimewanya lagi, tidak bayaaar. Aceh memang yang ter-baik. Kita bisa naik ke atas kapal dan berkeliling di deck. Tidak hanya itu, kita juga bisa masuk kedalam ruang kapal yang dulunya dipakai untuk mesin diesel pembangkit. Sekarang ruang itu disulap menjadi semuah museum dengan multimedia super keren atas permintaan pemerintah Aceh. Awalnya PLN ingin mengembalikannya ke Laut karena kerusakan Kapal tidak terlalu parah. Dijelaskan secara runtut dan jelas bagaimana kronologis Tsunami hingga ke hanyutnya PLTD Apung. Informasinya lengkap dan enak disimak. Tidak membosakan dan sarat akan ilmu. Sayang baru sampai lantai 1, museum tutup. Lain kali akan kesana, masih lama di Aceh ahaha… Yah, tujuan terakhir adalah kos. Namun mlipir dulu ke Masjid Raya, sekalian Ashar disana. Ingin sekali sholat disana. Rumah Allah di serambi Makkah. Lunas sudah harapanku sholat disana.
Ada kapal nggak ada Air.

Jangkarnya segede ini. Itupun ga kuat menahan hempasan Tsunami hingga terseret 5 Km. In frame : Adnan

Jalan jalan di deck sambil nunggu ruang dalam dibuka. Terlihat menara khusus buat mendang kapal. In frame : Adnan.

Cerobong asal PLTD terlihat kokoh. In frame : Saya sendiri.

Tarian Air.

Luntang luntung...

No comments:

Post a Comment