08 September 2016

Mimpi Kecil dari Manut (1)

Pagi sebelum Subuh aku mulai perjalanan menuju rumah. Sampai di rumah masih pagi, pintu terkunci. Tinggalah aku sendiri depan pintu dan tidur. Sekitar 2 jam, aku tak tahan lagi melihat berbagai gambaran di mimpiku yang tak jelas dan acak. Buat apa bermimpi dalam tidur. Tak ada guna selain bunga tidur.

Bermimpi itu ketika terbangun. Malam datang dan aku masih diluar. Sebelum sampai rumah -setengah jalan kurang lebih- ajakan untuk bertemu kawanku Sekolah dulu datang. Manut nama tempatnya. Seperti biasa aku memesan kopi pahit. Tanpa batasan strata sosial pun diantara kami -tidak juga pada orang disekitar kami. Semua orang bisa merasakan kemerdekaan sekarang. Kawanku baru saja -dan berkali kali- mebuatku teringat kepada orang lain yang tak seberuntung kami. 

"Di B kemarin sangat berkesan. Penduduk asli disana sangat senang dengan kedatangan kami. Sampai pada waktu kami berpamitan kami sampai menangis." 
"Menangis?" tanyaku heran
"Disana kami ditampung kepala desa, masih muda. Selama beberapa minggu." dia terus berceirta, "Walaupun begitu wilayah disana sudah mengerikan, sering terjadi kekeringan. Hampir 40 hektar ditanam sawit. 40 hektar. Bayangkan aja muter perkebunan 40 hektar, 17 tahun mungkin baru kelar. Itupun baru satu perusahaan"
"Wah perkebunan seperti itu pasti tak ramah lingkungan, 1 jenis tanaman saja, dan tentu hewan bakal jadi hama disana." Selaku tanpa dasar, hanya karena simpati.
"Aku sering menyendiri, lebih suka jalan jalan daripada hanya di rumah. Menyenangkan bisa ngobrol dengan orang dengan acak. Berbagi cerita tanpa ada kepentingan lain, hanya bercerita. Tak jarang masalah penduduk disana menjadi bahan berbincangan disana. Waktu di kebun, sambil melihat-lihat dan membantu, muncul pertanyaan yang sebenarnya mudah dijawab. "Anak bapak kelas berapa?", "Mau kuliah dimana?" beliau menjawab ragu. Disana pendidikan nomer sekian setelah pekerjaan. Tak jarang mereka berhenti sekolah untuk kerja, atau takut kuliah karena gosip kuliah itu mahal. ... " 

Obrolan semakin malam semakin ramai. Aku tambah kopiku secangkir lagi, mash sama Kopi Pahit.


Berlanjut...

No comments:

Post a Comment