18 September 2016

Mengawal Bonus Demografi Melalui Kegiatan Non-Akademik



Pertumbuhan penduduk di negara Indonesia mulai menampakkan titik terang. Hal itu dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih dominan dari jumlah penduduk usia ketergantungan (<15 tahun dan >64 tahun). Peningkatan ini dinamakan bonus demografi. Menurut data “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” dari BAPPENAS, Indonesia mengalami bonus demografi periode tersebut. Penurunan beban rasio beban ketergantungan (Dependency Ration) menurunkan beban ekonomi bagi penduduk usia produktif (usia kerja) yang menanggung usia tidak produktif. Data tersebut memperhitungakn usia harapan hidup, vertilitas, dan lain-lain. Sebuah kesempatan baik yang harus dikawal bersama.



sumber : Data Proyeksi Penduduk Indoensia 2010- 2035 (Bappeda)
Kesempatan ini – kalau enggan dinamakan tantangan – tidak secara otomatis akan menguntungkan Indonesia. Karena dibutuhkan lapangan perkerjaan dan kualitas manusianya. Lapangan pekerjaan harus memenuhi laju pertumbuhan, bisa dari pemerintah, swasta, maupun asing. Sedangkan kualitas manusianya harus mengimbangi pertumbuhan tersebut, agar produk – produk Indonesia dapat bersaing untuk menungkatkan laju pertukaran rupiah. Seandainya berhasil, tidak menutup kemungkinan Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara maju di Asia.
Untuk mendapatkan keduanya, hal utama yang harus dipersiapkan secara matang adalah SDM (Sumber Daya Manusia). Salah satu kunci peningkatan kualitas SDM adalah pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal. Dalam pendidikan formal (sekolah) juga terbagi menjadi kegiatan akademis dan nonakademis. Dari berbagai sarana pendidikan tersebut saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. SDM yang berkualitas tidak cukup hanya dengan meningkatkan kemampuan akademis. Walaupun kemampuan tersebut dapat diukur dengan angka pasti, namun dalam dunia pekerjaan kemampuan akademis bukan menjadi faktor utama dalam kualitas SDM. Dibutuhkan kemampuan memimpin, berkomunikasi, kepribadian, dan sebagainya yang hanya bisa didapat dari kegiatan nonakademis pada sarana pendidikan formal.
Kegiatan nonakademis adalah segala sesuatu di luar hal-hal yang bersifat ilmiah dan tidak terpaku pada satu teori tertentu. Berbeda dengan kemampuan akademis,  kemampuan nonakademis seseorang sulit diukur secara pasti karena tidak ada salah dan benar didalamnya. Contoh kemampuan non akademis antara lain seni berkomunikasi, kemampuan berorganisasi, kepribadian, kemampuan kerjasama, kemandirian, dan kecakapan memimpin. Di dalam kegiatan nonakademis lebih berpengaruh terhadap karakter manusianya dibanding kegiatan akademis. Untuk itu kegiatan nonakademis secara tidak langsung merupakan pendidikan karakter bagi calon pemimpin negeri ini. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
Sayangnya, kegiatan nonakademis belum benar – benar matang. Hal tersebut disebabkan kegiatan nonakademis di negara ini belum menjadi perhatian ketimbang akademis. Orang tua, sekolah, universitas, pemerintah, dan masyarakat cenderung menilai kualitas seseorang berdasarkan prestasi – prestasi akademisnya. Hal itu berakibat keterbatasan ruang bagi seseorang untuk mengembangkan potensinya. Potensi yang penting dalam kualitas SDM untuk dapat bersaing dengan negara maju. Dalam kondisi sekarang ini perlu ditanamkan bahwa setiap individu itu unik (Everybody is unique). Memahami potensi dan mengembangkannya sebagai senjatanya untuk masa depan negeri kaya ini. Negeri ini butuh orang yang mau bekerja, bukan sekedar pintar. Seperti selogan 71 tahun kemerdekaan Indonesia “Kerja Nyata!”.
Ketika kita mendengar berita “Empat Mahasiswa Indonesia Cuti Satu Semester untuk Dapat Menggapai Puncak Tertinggi Benua Amerika.” Hal pertama yang orang awam soroti pasti kata “cuti satu semester” baru setelah itu “menggapai puncak tertinggi Amerika”. Secara tidak sadar otak kita telah terprogram untuk lulus kuliah tepat waktu dengan indeks prestasi kumulatif diatas 3,50. Sedangkan kita seakan tidak mau tau bagiamana proses yang telah dilalui oleh mahasiswa tersebut untuk dapat mencapai puncak tertinggi Benua Amerika tersebut. Kalau kita mau sedikit saja memperhatikan, disana terdapat pembelajaran – pembelajar berharga yang akan sangat berguna bagi kualitas SDM. Hal tersebut mulai dari perencanaan, operasional, kepemimpinan, komunikasi, dana usaha, kemandirian, ketekunan, kedisiplinan, dan lain sebagainya. Secara kualitas dalam pekerjaan, bisa jadi mahasiswa yang cuti tersebut lebih cepat berdaptasi dan berprestasi daripada mereka yang tidak menjalani proses tersebut.
Hal yang sering terjadi adalah keterbatasan ruang. Keterbatasan dari dukungan, kebijakan guru/dosen, orang tua, teman, dan lainnya. Padahal masa muda adalah masa yang tidak bisa diulangi lagi. Mengekang kegiatan nonakademis seperti contoh diatas bisa jadi dampak besarnya adalah kegagalan Indonesia dalam masa bonus demografi. Karena kurangnya daya saing SDM negeri ini. Pemuda Indonesia sekarang ini adalah prospek terbesar untuk memimpin bonus demografi hingga 2035. Kalau dihitung secara kasar, mereka yang sekarang rata-rata mahasiswa akan berusia 40 tahun pada tahun tersebut. Usia itu adalah usia produktif dalam bekerja. Sehingga perlunya bekal yang harus disiapkan mulai dari sekarang.
Sebagai warga negara Indonesia, kita wajib mendukung dan mengawal bonus demografi ini menurut kemampuan, peran, dan kapasitas masing – masing. Ukuran pasti dari kemampuan akademis mulai sekarang bukan patokan utama. Memaksa pemuda Indonesia untuk meraih ukuran tersebut (akademis) sama saja memojokkan mereka untuk tidak mengembangkan potensi mereka. Sedangkan mereka adalah calon pemimpin dan tulang punggung negara ini pada masa nanti.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu menerpakan sistem pendidikan yang seimbang. Kalau perlu dicondongkan ke nonakademis. Hal ini untuk melebur mainset kita tentang tidak pentingnya hal tersebut (kegiatan nonakademis). Pemerintah juga tidak bisa sendirian. Perlu campur tangan dosen/guru dalam mengawalnya. Dosen/guru adalah orang yang secara langsung mendidik mereka dalam lembaga pendidikan formal ini. Dukungan orang tua juga tidak kalah penting. Ego orang tua yang ingin melihat nilai anaknya dengan prestasi selalu baik adalah suatu ketidakadilan. Orang tua sebagai lembaga pendidikan pertama dan paling dekat seharusnya lebih mengenal potensi dan minat mereka. Dengan begitu anak akan berkembang dan berkualitas sesuai dengan karakternya.
Semua dukungan tersebut akan percuma bila manusia yang dididik tidak dapat menyeimbangkan kebutuhan kegiatan akademis dan nonakademis. Kegiatan nonakademis bukanlah pelarian dari kegaitan akademis, melainkan kebutuhan yang saling beriringan dan memiliki prioritas masing – masing berdasarkan posisi yang diemban. Seorang atlit sepakbola akan memiliki waktu tersendiri untuk berlatih dan sebaliknya. Begitu juga dengan kegiatan nonakademis lain. Agar setiap kegiatan akademis maupun nonakademis tidak sia sia, perlu ditanamkan totalitas. Dengan totalitas, kita bisa belajar lebih mendalam dan paham dari setiap esensi kegiatan yang dilakukan.
Bekti Nugraha.

Bappenas.go.id 
 

15 September 2016

Kecemplung di Proses Wapeala #3 (Rock Climbing)


“Semakin sering kita membentur tebing, semakin tebing membentuk karakter kita.” - Mas Coro

Nampaknya proses kali ini akan lama, karena melewati ujian akhir semester (UAS) semester satu. Begitu jadwal kegiatan aku buka, memang benar, semakin banyak kesempatan untuk berlatih. Mengingat proses sebelumnya aku sangat kewalahan, maka aku harus memaksimalkan kesempatan latihan sebaik mungkin. Walaupun masih ujian kusempatkan untuk olahraga, materi, dan simulasi. Aku juga membeli sebuah bola tenis untuk latihan cengkeraman. Sebisa mungkin aku ikuti setiap prosesnya. Walaupun kadang tak ada teman dekat yang menyertai. Awalnya begitu berat. Mulai dari kelenturan sampai menempel di papan. Simulasi pertama masih belum berhasil, baru sampai titik pemasangan pengaman (hanger) ke-empat. 

Memang benar, persiapan berpengaruh banyak. Terbukti ketika mempraktekkannya di tebing sesungguhnya. Aku dapat melewati jalur pemanjatan (Sport dan Artificial) serta naik dan turun dengan satu tali (prusikking dan rappling). Hampir semua materi aku bisa melakukannya -walaupun masih banyak kesulitan dan kewalahan. 

Begitulah proses. Keberhasilan itu dimulai dari pertama kita merencanakan. Ada yang bilang pemenang itu menang sebelum bertarung, dan pecundang adalah berusaha menang ketika bertarung. Tidak menang, tidak juga hebat. Tapi aku telah mengalahkan batasan kemampuanku sendiri, dan itu tidak didapat dengan seketika.

13 September 2016

Mimpi Kecil dari Manut (3)

Manusia belum menjadi manusia ketika melupakan manusia yang lain. Seperti buku "Swordless Samurai", keinginan sewaktu SMA, sedikit bahasan seni, dan sedikit perbincangan tentang perempuan. Keluarlah sebuah gagasan lama. Taukah tentang disabilitas? Membuat sebuah sanggar seni untuk anak berkebutuhan khusus. Baru-baru ini aku berpikir lebih jauh, bagaimana kalau universitas. Universitas untuk para disabilitas. Universitas? Bagaimana bisa?

Kambas lalu bercerita seorang temannya yang notabene tidak pandai di kuliah, tetapi sudah ditawari jadi supervisi sebuah perusahaan yang tidak kecil. Muncul dari kepedulian sosialnya bersama teman-teman SMA nya, teman Kambas mendirikan sebuah komunitas peduli disabilitas, YHA. Membuka mataku, ternyata siapapun bisa. Aku yang dulu berpikir 'uang' sebagai syarat nomor 1, sekarang aku mulai mengerti. Ternyata mimpi harus dimulai, bukan ditunggu. "Kayalah untuk bisa membantu orang lain" kata Kambas. Tapi itu hanya syarat nomor sekian. 

Sebuah Universitas. Tak banyak orang bisa merasakan pendidikan tinggi. Pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Every body is unique. Kesempatan bagi kita terbuka lebar, tetapi tidak bagi mereka. Mimpi ini harus dimulai, Mimpi Kecil dari Manut!

Selesai
Mimpi Kecil dari Manut (1)
Mimpi Kecil dari Manut (2)

09 September 2016

Mimpi Kecil dari Manut (2)

Obrolan melebar sampai kemana mana. Hingga memperbincangkan Buku. Ternyata kami hampir sama, sama sama baru sadar serunya memabaca. Sedikit kesamaan lagi, Pram, ya Pramoedya. Cecep juga baru membaca tetralogi Buru. Selain itu dia lebih tertarik dengan Seni, Buku resensi seni setebal kamus jaman SMP. Ternyata orang orang seni sangat berwawasan luas. Dari sejarah sampai tafsiran tersirat yang terurai secara mendetail sampai ke noktah-noktahnya. Baru setengah ia baca. Bicara tentang seni, ... ah belum. Obrolan kita tentang mimpi kecil dari Manut nanti saja aku sampaikan.

Kami sama sama setuju, membaca itu harus dari sadar sendiri, baru bisa menikmatinya. Aku sendiri baru saja menyelesaikan buku "Swordless Samurai" yang menceritakan Hideyoshi, seorang jelata yang menyatukan Jepang dari zaman peperangan, zaman yang satu-satunya hukum adalah pedang. Diakhir cerita, dia termakan juga oleh godaan kekuasaannya. Walaupun beralasan, tapi tindakannya adalah blunder besar bagi dirinya, seperti kebanyakan orang yang sudah mencapai puncak kekuasaannya. Mimpinya pun sudah tercapai. Mimpi sebesar itu! Disitulah puncaknya. Makanya mimpi harus besar biar tak terlena juga - mungkin biar tak tercapai... Biar berusaha dan berusaha sampai hayat berakhir. Mimpi kecil dari Manut juga muncul salah satunya dari itu.

Selain itu aku juga membaca buku karangan ulama besar Indonesia, M Quraish Shihab. Belum selesai juga aku baca. "Perempuan". Buku yang tak kalah tebal dengan kamus. Mungkin juga itu hanya secuil dari pemahaman tentang makhluk istimewa ciptaan-Nya itu. Buku dengan sampul merah muda itu aku sampuli dengan kertas biru dan plastik, biar bisa kubaca dimanapun tanpa harus risih dipandangi orang. sekilas seperti buku untuk kamu hawa, tapi setelah kubaca, bahkan sampai sekarang -hampir setengahnya- lebih banyak pandangan yang membuka pikiran terutama bagi kaum laki-laki. Entah kenapa harus sampul merah muda digunakan. tentu kalau menggunakan sampul gelap, lebih banyak dari kami yang akan memboronganya dan menggunakannya untuk mempelajari makhluk unik tersebut.

Obrolan berlanjut, tentang perempuan, sosial, harta, dan cinta. Tak banyak bisa kusampaikan, intinya tetap saja, kami sepaham. Walaupun tidak dapat mewakili hasil obrolan itu, tapi satu hal yang ada dibuku ini dan kita baca bertiga. Akan kukutip sama persis seperti tertulis di buku. Bab Nikah dan Berumah Tangga.

Dalam Legenda Sansekerta ditemukan hikayat yang menyatakan bahwa ketika Dewa menciptakan alam, dia genggam segala unsur dalam tanggannya, lalu dia ciptakan matahari, bulan, bintang, gunung, angin, laut, pohon, binatang, dan akhirnya manusia pertama, yakni lelaki, dan ketika selesai menciptakan lelaki, habislah seluruh unsur yang ada dalam genggamannya. Nah, ketika sang Dewa ingin menciptakan perempuan, tidak ada jalan lain kecuali meminjam unsur yang telah diciptakannya semula. Maka, diambillah dari matahari sinarnya, dari bulan kebulatannya, dari bintang kecemerlangannya, dari gunung kegarannya, dari angin pancarobanya, dari laut alirannya, dari dahan kelenturannya, dari daun kelenturannya, dari merpati kejinakannya, dari harimau kekejamannya, dari burung merak keangkuhannya, dari api kehangatannya, dan dari salju kedinginannya, demikian kesemuannya dicampur dalam satu adonan, dan dari adonan itu Dewa menciptakan perempuan kemudian diserahkan pada lelaki untuk menemani dan menghiburnya.

Akan tetapi, belum lagi berlalu seminggu, lelaki pertama itu mengembalikan perempuan tadi pada Dewa sambil berkata : "Engkau telah memberikan yang ini, tetapi aku kembalikan. Dia tidak berhenti berbicara, terus menangis, dan tidak melakukan apa pun. Dia ingin aku agar menemaninya bercanda dengannya sepanjang hari." Maka Dewa menerima kembali perempuan itu. Namun, setelah seminggu, lelaki pertama tadi datang menghadap memohon agar perempuan itu dikembalikan : "Kembalikanlah dia padaku. Dia senang menyanyi dan menari, dia suka mengerlingkan matanya padaku. Sungguh aku kesepian dengan kepergiannya." begitu ucapnya. Maka Dewa mengabulkan permintaannya. Akan tetapi, tiga hari kemudian, lelaki tadi mengembalikannya lagi. Dia letih menghadapinya. Ketika itu, sang Dewa marah dan berkata : "Segera ambil keputusan! Engakau menghendakinya atau tidak! Katakan segera. Kalau tidak, engkau kuhabisi dan kuciptakan untuk perempuan ini lelaki selainmu." Nah ketika itu, lelaki tadi tanpa banyak bicara menarik rambut perempuan tersebut dan mengajak pergi bersama sambil bergumam : "Sungguh, aku tidak dapat hidup jauh darinya, tetapi tidak juga mendekat kepandanya. Aku tidak dapat hidup bersamanya, tetapi tidak juga dapat hidup tanpa kehadirannya."

Berlanjut....


08 September 2016

Mimpi Kecil dari Manut (1)

Pagi sebelum Subuh aku mulai perjalanan menuju rumah. Sampai di rumah masih pagi, pintu terkunci. Tinggalah aku sendiri depan pintu dan tidur. Sekitar 2 jam, aku tak tahan lagi melihat berbagai gambaran di mimpiku yang tak jelas dan acak. Buat apa bermimpi dalam tidur. Tak ada guna selain bunga tidur.

Bermimpi itu ketika terbangun. Malam datang dan aku masih diluar. Sebelum sampai rumah -setengah jalan kurang lebih- ajakan untuk bertemu kawanku Sekolah dulu datang. Manut nama tempatnya. Seperti biasa aku memesan kopi pahit. Tanpa batasan strata sosial pun diantara kami -tidak juga pada orang disekitar kami. Semua orang bisa merasakan kemerdekaan sekarang. Kawanku baru saja -dan berkali kali- mebuatku teringat kepada orang lain yang tak seberuntung kami. 

"Di B kemarin sangat berkesan. Penduduk asli disana sangat senang dengan kedatangan kami. Sampai pada waktu kami berpamitan kami sampai menangis." 
"Menangis?" tanyaku heran
"Disana kami ditampung kepala desa, masih muda. Selama beberapa minggu." dia terus berceirta, "Walaupun begitu wilayah disana sudah mengerikan, sering terjadi kekeringan. Hampir 40 hektar ditanam sawit. 40 hektar. Bayangkan aja muter perkebunan 40 hektar, 17 tahun mungkin baru kelar. Itupun baru satu perusahaan"
"Wah perkebunan seperti itu pasti tak ramah lingkungan, 1 jenis tanaman saja, dan tentu hewan bakal jadi hama disana." Selaku tanpa dasar, hanya karena simpati.
"Aku sering menyendiri, lebih suka jalan jalan daripada hanya di rumah. Menyenangkan bisa ngobrol dengan orang dengan acak. Berbagi cerita tanpa ada kepentingan lain, hanya bercerita. Tak jarang masalah penduduk disana menjadi bahan berbincangan disana. Waktu di kebun, sambil melihat-lihat dan membantu, muncul pertanyaan yang sebenarnya mudah dijawab. "Anak bapak kelas berapa?", "Mau kuliah dimana?" beliau menjawab ragu. Disana pendidikan nomer sekian setelah pekerjaan. Tak jarang mereka berhenti sekolah untuk kerja, atau takut kuliah karena gosip kuliah itu mahal. ... " 

Obrolan semakin malam semakin ramai. Aku tambah kopiku secangkir lagi, mash sama Kopi Pahit.


Berlanjut...