30 October 2016

Sudah A.Md #2

28 Oktober 2016 adalah hari sumpah pemuda, berbarengan dengan janji wisudawan Universitas Diponegoro ke-144. Menjadi bagian dari 3600-an Mahasiswa UNDIP yang menamatkan studinya periode ini merupakan hal yang sangat membanggakan. Universitas ini menjadi kawah Candradimuka yang telah menempaku. Ketika pikiranku melayang kembali pada yang terjadi selama 3 tahun, sangat terasa betapa kerasnya kawah Candradimuka ini menempaku. Begitu banyak yang aku dapatkan disini, berbagai hal yang tidak dapat dibeli dengan uang tentunya. Meskipun begitu, tak banyak yang aku fahami, namun akan aku tanamkan dalam diri. Setelah ini bukan akhir dari perjalananku, karena hari depan jauh lebih terjal dari hari hariku disini. Life is a journey!

27 Oktober pagi, Mei Dina datang dari Jakarta. Perjalanan kereta yang cukup lama membuatnya butuh istirahat. Setelah aku ajak makan, aku antar ke kos Aenun. Selesai ku antar akhirnya bisa tidur setelah semalam begadang. Sorenya aku ajak sedikit melihat lihat Semarang sekaligus berbuka puasa. Pikiranku tertuju pada komplek bangunan peninggalan zaman Belanda, Kota Lama. Tidak banyak yang aku tawarkan, baru pertama juga aku kesini.

19 October 2016

Banjir Garut #1

Malam hari ketika tengah nikmatnya orang-orang terlelap, air sungai Cimanuk meluap. Sekitar pukul 11 malam kejadian itu terjadi. Beberapa hari belakangan memang hujan tak henti hentinya turun. Ketika malam itupun masih hujan lebat. Sungai Cimanuk yang berhulu di Gunung Papandayan ini melewati tengah kabupaten Garut hingga muaranya di Pantai Utara, Cirebon. Sebelum sampai Pantai Utara, Cimanuk terbendung oleh Waduk Jati Gede. Waduk yang baru dibuat dengan merelokasi penduduknya. Jam 5 pagi banjir baru mulai mereda, sebaliknya di Waduk Jati Gede, air masih masuk dengan derasnya hingga terlihat seperti pusaran air. 

Tiga hari setelah kejadian tersebut aku pergi kesana, malam itu gerimis kecil di Semarang. Dengan Bus Budiman arah Tasikmalaya seharga 120 ribu. Sampai disana, hampir semua berbahasa sunda lemas. Dengan bantuan seorang perantau yang dulu pernah kuliah di sebuah akademi maritim Semarang, akhirnya dapat sampai ke Terminal Garut dengan murah. Total perjalanan darat menghabiskan 11 jam dan ongkos 150 ribu rupiah. Posko pertama yang kusinggahi adalah Posko STTG Mussadadiyah. Posko milik lembaga Mussadadiyah ini ditenagai oleh Mapala-Mapala Bandung, Bogor, Jakarta dan sekitarnya, Mahasiswa STTG, serta relawan-relawan. Mapala STTG berperan banyak dalam berjalannya Posko ini. Bukan hanya posko ini yang berdiri di Garut. Posko Utama berada di KODIM, sedangkan Posko-posko lain tetap berdiri dengan berbagai latar belakang. Posko relawan Gabungan yang dimotori oleh WANADRI Bandung juga sempat aku singgahi, disana pula fokus tanggap bencana untuk MAPALA selain "assesment".

Sebagai relawan, sudah seharusnya membantu yang bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan. Hari pertama hanya bisa ikut membawa bantuan logistik berupa pakaian dan sembako. Walaupun seperti tak berguna, namun memang dibutuhkan. "Ini soal kemanusiaan. Urusan organisasi apapun itu kalau ada bencana harus dinomer dua-kan. Kecuali urusan kuliah, itu tetap utama." Kata Ua Yana. Malam harinya seperti biasa evaluasi dan briefing untuk hari berikutnya.

Pencarian hari ke-empat, atau pencarian hari-pertama ku difokuskan di Cimanuk jalur Jager-Leuwigoong dan Limbangan-Wado. Namun setelah briefing, tim dijadikan 1 tim besar dengan 4 perahu.

Berlanjut......

08 October 2016

Menjadi Indonesia

Perjalanan menuju Garut beberapa waktu lalu mempertemukanku dengan seorang laki-laki. Sebuah pertemuan yang pernah terjadi 6 tahun lalu, hanya saja waktu itu bukan denganku, melainkan dengan Mas Ponco. Sejak masuk Jawa Barat hampir setiap orang berbahasa Sunda, namun begitu pertama bertemu dengannya aku merasa kembali ke Jawa. Awalnya aku terkejut karena dia berasal dari Jakarta. Mukanya yang terlihat muda membuatku sekali lagi tidak percaya bahwa 6 tahun yang lalu dia pernah singgah di Semarang.
Berbincang dengannya membuat lidahku tak kaku lagi, karena bisa berbahasa Jawa dengan luwes. Tak hanya Jawa, orang kelahiran tanah Andalas itu pun bisa berbagai bahasa daerah. Begitu cintanya pada negeri kaya ini. Tak heran kalau dia tertarik dan bisa berbahasa daerah mulai dari Jawa, Sunda, dan Minang. Bahasa Inggris bukan bahasa negeri kaya ini. Secara terang-terangan dia juga menolak mempelajarinya. Dari sekolah dasar hingga tamat SMA pun, dia lebih suka bolos kelas dari pada ikut pelajaran Bahasa Inggris. Bukan suatu hal yang menarik jika itu hanya karena malas, namun ini berbeda dia istimewa. Sebuah bentuk cinta yang terlampiaskan melalui bahasa.
Semoga bisa bertemu dengannya lagi lain waktu.

04 October 2016

Engkau Tetap Jogjaku

Telah kujelajahi negeri ini
Andalas hingga Papua

Angkuhnya, damainya
Pengapnya, sejuknya
Kotornya, asrinya
Tandusnya, hijaunya
Engkau tetap Jogjaku

Tak hentinya kukagumi
Tanahnya, airnya
Gunungnya, sungainya
Langitnya, lautnya
Hewannya, pohonnya
Engkau tetap Jogjaku

Semakin jauh kupergi, semakin banyak kuresapi
Semakin sesak dada ini
Tak sanggup aku kembali ke Jogja
Jogjakartaku menangis
Tetapi dia tetap kuat, berusaha tegar dan selalu ada untuk
'mereka'

'Mereka'  ini harus sadar
Negeri kaya ini sudah lelah
Jogjakarta ini sudah lelah
Jangan kalian perkosa Jogjaku!